Saturday, March 23, 2013

Pertunjukan Duka


Ada perempuan muda yang berdiri diam

Menggenggam secangkir kopi yang masih hangat

Kosong tatapannya ke luar jendela 

Ada pertunjukan pilu tentang kenangan di luar sana


Pertunjukan itu masih berlanjut

Alam melagu mengiringi lara yang terkandung

Semesta memeluk para pemeran yang terseok layu

Semesta pun menangis, meneteskan bulir duka


Perempuan muda masih berdiri diam

Cangkir kopinya masih penuh dan sudah membeku

Tatapannya tak lagi kosong di balik jendela

Basah matanya berbahasa mengatakan cinta…

Yang belum selesai…



Jakarta
Sabtu, 23 Maret 2013
8:50 Pagi

Thursday, March 21, 2013

Wacana

Harusnya sapa. Bukan acuh.
Harusnya tawa. Bukan senyum palsu.
Harusnya sepasang. Bukan tunggal.
Harusnya hangat. Bukan beku.
Harusnya dekat. Bukan jauh.
Harusnya bersama. Bukan terberai.
Harusnya masih. Bukan sudah.
Harusnya cinta. Bukan lara.
              
Jakarta, 21 Maret 2013
8:58 Pagi

Wednesday, March 20, 2013

Pulang

Aku menutup pintu mobil dengan meninggalkan supirku di dalamnya. Suara ramai mulai memenuhi telinga saat ku melangkahkan kaki memasuki bangunan tua itu. Siang itu, hawa panas dan lembap dari tempat itu merebak membelai kulit tubuhku seiring semakin jauh langkah kaki ini menembus hiruk pikuk di dalamnya. Sesuatu yang sangat tidak nyaman, memang. Tetapi entah kenapa tidak membuatku kapok untuk datang kesana. Suara-suara khas berisi pemberitahuan tentang keberangkatan dari pembesar suara di setiap sudut bangunan mulai membahana, Terdengar beberapa potong kalimat dengan berbagai dialek di sepanjang koridor yang aku lewati. Ada dialek Sunda, ada dialek Jawa, dan sisanya dialek dari bagian lain pelosok negeri. Terlihat pula deretan bangku-bangku yang terhampar di peron yang selalu penuh, tempat mereka menunggu kereta datang. Atau bisa jadi tempat mereka merenung sebelum meninggalkan yang terkasih disini.

        Bangunan itu disebut stasiun. Bangunan tempat singgah kereta-kereta untuk kemudian pergi lagi. Seperti suami yang pulang sebentar dari rantauan untuk kemudian pergi lagi mencari nafkah di tanah sebrang. Bangunan tempat dimana rindu dari orang yang lama terpisah jauh terlepaskan. Sekaligus bangunan dimana air mata seorang perempuan menetes seiring langkah kekasihnya memasuki pintu gerbong kereta. Bangunan yang menyimpan banyak ceritanya sendiri. Bangunan tempat menunggu kedatangan seseorang.

         Seperti aku sekarang ini. 

       Setiap sebulan sekali aku datang kesana. Tempat dimana dulu aku pun melepas lelaki-ku untuk pergi ke kota lain. Demi menuntut ilmu setinggi langit. Aku yakin dia akan segera pulang. Aku yakin aku akan segera melihat sepasang sepatu warna cokelat itu melangkah turun dari pintu gerbong kereta. Sepatu yang kubelikan untuknya saat ulang tahunnya waktu itu. Aku yakin dia akan memelukku lama sebagai pelepas rindu, dan segera mengajakku pergi untuk mengantarkan ia ke rumahnya. 

       Karena dia selalu menjanjikannya. Aku masih meyakininya hingga saat ini. Walaupun sudah sekian ribu hari berlalu.

        Angin berhembus. Gaun selututku melambai-lambai. Payung berwarna beige-ku pun ikut menari-nari tertiup angin. Tiba-tiba seorang lelaki yang merupakan pegawai stasiun berusia awal 30-an menghampiriku. Ia tak sendiri. Tatapan sinis dan seolah mengolok-olokku dari mata teman-temannya di sudut tembok stasiun  ikut menemani. Aku tak suka melihatnya.

      "Mbak Nira, Mas Bayu-nya sudah pulang. Mbak Nira nggak perlu kesini lagi ya." ucapnya dengan lembut dan sopan. Aku merasa familiar dengan wajahnya. Seperti sering bertemu. Ya, mungkin karena dia bekerja disini jadi ada kemungkinan kami sering berpapasan tanpa sengaja. Namun, ada ketenangan dalam wajahnya yang membuatku nyaman.

        "Tapi siapa yang jemput dia?" tanyaku  penasaran.

     "Sudah ada yang menjemputnya, Mbak. Tenang saja." Pegawai stasiun itu tersenyum manis. Semakin menambah ketampanan parasnya. Namun, itu tak begitu penting bagiku. Bagiku yang terpenting hanyalah Bayu. Kepulangan Bayu-ku.

         "Tapi..."

         "Sudah. Suasana stasiun yang ramai ini tidak baik untuk wanita cantik seperti anda. Lebih baik anda saya antar ke mobil ya. Supir anda sudah menunggu." Seperti anak kecil, aku menurut saja tanpa berkata apapun. Dengan lembut ia menuntunku ke luar stasiun. Memegang pundakku dengan kokoh hingga sampailah pada pintu mobilku. Sebelum ia membuka pintu, aku melontarkan sebuah pertanyaan.

         "Tapi Bayu sudah pulang dengan selamat kan?"

     "Sudah, Mbak. Dia sudah tenang." Kemudian ia membukakan pintunya untukku, lalu aku masuk dan memperhatikannya dari kaca belakang mobil seiring mobil ini menjauhi stasiun.

         Pria yang baik, pikirku.

        Di setengah perjalanan air mataku menetes. Aku menangis. Di dalam jok mobil belakang itu aku menangisi sesuatu. Aku tak tahu mengapa, yang jelas perasaan duka itu membuncah keluar dari dalam dada. Aku merindukan Bayu. Aku merindukan Bayu. Bawa Bayu-ku pulang, Tuhan..

         Kemudian aku tahu bahwa Bayu tak akan pernah pulang. Bayu-ku tak akan pernah pulang lagi kepadaku. 

          Sebulan kemudian...

      Aku menutup pintu mobil dengan meninggalkan supirku di dalamnya. Aku berjalan kembali memasuki stasiun itu. Suara ramai khas stasiun kembali memenuhi telingaku. Aku menunggu Bayu-ku pulang. Pulang dengan senyumannya. Pulang dengan pelukan hangat yang melingkari tubuhku. 

      Tiba-tiba seorang lelaki dengan seragam pegawai stasiun datang menghampiriku. Lelaki dengan wajah familiar itu.

       "Mbak Nira, Mas Bayu-nya sudah pulang. Mbak Nira nggak perlu kesini lagi ya." ucapnya dengan nada lembut dan sopan.

           Pria yang baik, pikirku.




       Ditulis di Jakarta, Rabu pukul 2:09.