Aku menutup pintu mobil
dengan meninggalkan supirku di dalamnya. Suara ramai mulai memenuhi telinga
saat ku melangkahkan kaki memasuki bangunan tua itu. Siang itu, hawa panas
dan lembap dari tempat itu merebak membelai kulit tubuhku seiring semakin jauh
langkah kaki ini menembus hiruk pikuk di dalamnya. Sesuatu yang sangat
tidak nyaman, memang. Tetapi entah kenapa tidak membuatku kapok untuk datang
kesana. Suara-suara khas berisi pemberitahuan tentang keberangkatan dari
pembesar suara di setiap sudut bangunan mulai membahana, Terdengar beberapa
potong kalimat dengan berbagai dialek di sepanjang koridor yang aku lewati. Ada
dialek Sunda, ada dialek Jawa, dan sisanya dialek dari bagian lain pelosok
negeri. Terlihat pula deretan bangku-bangku yang terhampar di peron yang selalu
penuh, tempat mereka menunggu kereta datang. Atau bisa jadi tempat mereka
merenung sebelum meninggalkan yang terkasih disini.
Bangunan itu disebut stasiun.
Bangunan tempat singgah kereta-kereta untuk kemudian pergi lagi. Seperti suami
yang pulang sebentar dari rantauan untuk kemudian pergi lagi mencari nafkah di
tanah sebrang. Bangunan tempat dimana rindu dari orang yang lama terpisah jauh
terlepaskan. Sekaligus bangunan dimana air mata seorang perempuan menetes
seiring langkah kekasihnya memasuki pintu gerbong kereta. Bangunan yang
menyimpan banyak ceritanya sendiri. Bangunan tempat menunggu kedatangan
seseorang.
Seperti aku
sekarang ini.
Setiap
sebulan sekali aku datang kesana. Tempat dimana dulu aku pun melepas lelaki-ku
untuk pergi ke kota lain. Demi menuntut ilmu setinggi langit. Aku yakin dia
akan segera pulang. Aku yakin aku akan segera melihat sepasang sepatu warna
cokelat itu melangkah turun dari pintu gerbong kereta. Sepatu yang kubelikan
untuknya saat ulang tahunnya waktu itu. Aku yakin dia akan memelukku lama
sebagai pelepas rindu, dan segera mengajakku pergi untuk mengantarkan ia ke
rumahnya.
Karena dia selalu menjanjikannya. Aku masih
meyakininya hingga saat ini. Walaupun sudah sekian ribu hari berlalu.
Angin berhembus. Gaun selututku
melambai-lambai. Payung berwarna beige-ku pun ikut menari-nari
tertiup angin. Tiba-tiba seorang lelaki yang merupakan pegawai stasiun berusia
awal 30-an menghampiriku. Ia tak sendiri. Tatapan sinis dan seolah
mengolok-olokku dari mata teman-temannya di sudut tembok stasiun ikut
menemani. Aku tak suka melihatnya.
"Mbak Nira,
Mas Bayu-nya sudah pulang. Mbak Nira nggak perlu kesini lagi ya." ucapnya
dengan lembut dan sopan. Aku merasa familiar dengan wajahnya. Seperti
sering bertemu. Ya, mungkin karena dia bekerja disini jadi ada kemungkinan
kami sering berpapasan tanpa sengaja. Namun, ada ketenangan dalam wajahnya yang
membuatku nyaman.
"Tapi siapa yang jemput dia?"
tanyaku penasaran.
"Sudah ada yang menjemputnya, Mbak.
Tenang saja." Pegawai stasiun itu tersenyum manis. Semakin menambah ketampanan
parasnya. Namun, itu tak begitu penting bagiku. Bagiku yang terpenting hanyalah
Bayu. Kepulangan Bayu-ku.
"Tapi..."
"Sudah. Suasana stasiun yang ramai
ini tidak baik untuk wanita cantik seperti anda. Lebih baik anda saya antar ke
mobil ya. Supir anda sudah menunggu." Seperti anak kecil, aku menurut saja
tanpa berkata apapun. Dengan lembut ia menuntunku ke luar stasiun. Memegang
pundakku dengan kokoh hingga sampailah pada pintu mobilku. Sebelum ia membuka
pintu, aku melontarkan sebuah pertanyaan.
"Tapi Bayu sudah pulang dengan
selamat kan?"
"Sudah, Mbak. Dia sudah
tenang." Kemudian ia membukakan pintunya untukku, lalu aku masuk dan
memperhatikannya dari kaca belakang mobil seiring mobil ini menjauhi stasiun.
Pria yang baik, pikirku.
Di setengah perjalanan air mataku
menetes. Aku menangis. Di dalam jok mobil belakang itu aku menangisi sesuatu.
Aku tak tahu mengapa, yang jelas perasaan duka itu membuncah keluar dari dalam
dada. Aku merindukan Bayu. Aku merindukan Bayu. Bawa Bayu-ku pulang, Tuhan..
Kemudian aku tahu
bahwa Bayu tak akan pernah pulang. Bayu-ku tak akan pernah pulang lagi
kepadaku.
Sebulan
kemudian...
Aku menutup pintu mobil dengan meninggalkan
supirku di dalamnya. Aku berjalan kembali memasuki stasiun itu. Suara
ramai khas stasiun kembali memenuhi telingaku. Aku menunggu Bayu-ku pulang.
Pulang dengan senyumannya. Pulang dengan pelukan hangat yang melingkari
tubuhku.
Tiba-tiba seorang lelaki dengan seragam
pegawai stasiun datang menghampiriku. Lelaki dengan wajah familiar itu.
"Mbak Nira, Mas Bayu-nya sudah
pulang. Mbak Nira nggak perlu kesini lagi ya." ucapnya dengan nada lembut
dan sopan.
Pria yang
baik, pikirku.
Ditulis di Jakarta, Rabu pukul 2:09.
kasian :'(
ReplyDeletebegitulah penantian :')
DeleteKeren, Fik. Sempat merinding.. x))
ReplyDeletemakasih ya udah dibaca :))
ReplyDeletemungkin kamu bacanya di bawah pohon beringin yang ada kuntinya kali :/
bayu nya meninggal?
ReplyDeleteMenurut lo dev? :")
Delete